Sunday, April 1, 2012

(JURNAL) Dari Tanggulangin ke ITS Surabaya


Tulisan ini sekedar cerita kecilku. Sekedar pelampiasan kepada mereka yang hanya menyerah kepada nasib dan mengeluh karenanya. Karena insiden kecil di rumah siang itu, aku berangkat dari rumah cuma berbekal  9 ribu rupiah. 5 ribu aku bayar buat naik Bison dari Tanggulangin sampai ke terminal Joyoboyo. Sisa 4 ribu masih ada di kantong.

Dari terminal Bungurasih, naik seorang tua renta dengan pakaiannya yang lusuh. Pakaian itu juga kebesaran, sehingga beliau sering merapikan penampilannya karena pakaiannya sering melorot. Beliau agak kesusahan untuk bisa masuk ke dalam Bison, kelihatannya ada masalah dengan kedua kakinya. Ia duduk disebelahku. Ia bercerita bahwa kakinya terkena struk. Umurnya sudah 72 tahun. Ia juga mengidap kolestrol.

Ia mau turun di RSI, Wonokromo, karena rumahnya didekat sana, daerah Rungkut. Ia juga sempat bercerita bahwa becak sekarang kalo pasang tarif mahal-mahal. Sekali jalan bisa nyampe 10 ribu. “Mau mahal-mahal yang dimintai kok orang yang ‘gak punya’ kayak saya.”

Lalu, si tua itu berkata kepada seorang ibu disebelah saya. “Bu, sampean bawa air minum? Saya haus..”

“Maaf bu, saya tidak bawa air minum.”

Si tua itu langsung melirikku. Aku hanya diam sambil garuk-garuk tangan, toh aku uda lama sekali gak bawa bekal air minum, sejak SMA. Sebenarnya, semua percakapan di dalam Bison saat itu dilantunkan dalam bahasa Jawa, namun dalam tulisan ini sudah aku translate menjadi bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Si tua itu masih melirikku. “Nak, Mbah minta uang 2 ribu buat naik becak.”

Aku langsung merogoh kantongku, kuambil semua uangku yang tersisa disana. Ah benar juga, tinggal 4 ribu. Jika kuberikan untuk dia 2 ribu, masih sisa 2 ribu, cukuplah untuk biaya Lyn dari Joyoboyo ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya). Segera kuberikan 2 ribu itu kepada si tua, sisa 2 ribu langsung kumasukkan ke kantong lagi. Maaf ya Mbah, seandainya uangku lebih dari itu, bakal kukasih lebih.

Si tua itu menerima uangku, lantas cepat-cepat ia masukkan uang itu ke dompet kecil yang dari tadi ia timang-timang. Ia lalu kembali melirikku.

“Habis dari mana Mas?”

“Saya dari Tanggulangin, ini mau ke ITS.”

“Oooh PKS.”

Aku mengulanginya dengan jelas. “ITS Mbah.”

“Oooh ITS.”

Ia lalu diam sejenak. 1 menit kemudian ia kembali melirikku.

“Kamu mau ke ITS ya. Jauh yaaa.”

“Iya Mbah. Saya nanti turun Joyoboyo, darisana saya naik Lyn P jurusan kenjeran. Itu langsung ke ITS.”

“Oooh begitu.”

Ia lalu diam sejenak. 1 menit kemudian ia kembali melirikku lagi.

“Mas di ITS jurusan apa?”

“Kelautan,” jawabku singkat.

Dia diam sejenak. Lalu kembali melirikku.

“Tetanggaku ada yang anaknya juga sekolah di ITS. Dia jurusan Teknik Sipil.”

“Ehm, sebenarnya Teknik Sipil sama kayak Teknik Kelautan Mbah. Bedanya, Teknik Kelautan build bangunan-bangunannya di laut.”

Dia diam sejenak, lalu membalas penjelasanku dengan nada seperti mengambil kesimpulan, “Ooh, berarti Sipil itu ngantor.”

“Maksud saya, Teknik Sipil itu khusus kontruksi bangunan-bangunan di darat. Sedangkan Teknik Kelautan untuk kontruksi bangunan-bangunan di area lepas pantai, seperti anjungan minyak yang ngebor di laut.”

“Oh ya? Tetangga saya yang sipil itu sekarang kerja di Pertamina. Saiki wonge sugih tenan.” (Sekarang orangnya kaya sekali)

Ibu disebelah saya yang dari tadi juga turut mendengarkan kini ikut menimpali, “Kalau kerja dibagian explorasi minyak pasti sugih.”

Si tua itu menghela napasnya. “Sekolah sekarang sulit, tapi kalo lulus gak mesti dapet kerja.” Ia lalu kembali melirikku sambil menepuk kakiku, “Bener nggak?”

Aku hanya diam.

“Anak saya… dia sekolah di STM Perhotelan, tapi gak bisa masuk hotel karena gak bisa bahasa Inggris."

Aku hanya mengangguk pelan. Aku kembali teringat, sudah berkali-kali para guru semasa SMP dan SMA yang mengingatkanku tentang betapa pentingnya bisa berbahasa Inggris. “Iya Mbah, dimana-mana sekarang butuh bahasa Inggris. Bisa bahasa Inggris memang penting.”

“Tetangga saya yang anaknya Teknik Sipil itu orang kaya. Makanya anaknya juga gampang jadi kaya, karena semua kebutuhan anak itu gampang terpenuhi. Saudara saya juga ada yang masuk bank, tapi itu juga harus bayar berapa juta biar bisa masuk kesana. Semuanya butuh duit, kalau gak ada duit ya gak bisa apa-apa.”

Si tua itu diam sejenak. Raut mukanya sedikit berubah. Nadanya kembali seperti mengambil kesimpulan, “Pengen sugih ancen kudu bondo.” (Mau jadi kaya memang harus punya modal banyak)

Aku hampir sependapat dengan semua statementnya, tapi tidak untuk yang terakhir itu. Si tua ini, dia seolah-olah ingin menyatakan bahwa gak ada kesempatan buat ia yang sejak awal sudah serba kekurangan itu. Seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa kita tidak bisa melawan takdir yang sudah digariskan.

Dia hanya menyerah. Dia hanya pasrah terhadap takdir. Hati nuraniku langsung terbakar dengan statement akhirnya itu, karena ini sama sekali bertentangan dengan apa yang selama ini selalu kupegang. Dengan sebisa mungkin, kubuat statement balikku agar tidak bernada seperti menggurui sedikitpun.

“Mbah, sebenarnya saya ini juga sama seperti Mbah, dari keluarga yang kurang mampu. Kalau dulu teman-teman semasa SMA saya pada ikutan bimbel untuk persiapan menghadapi SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sedangkan saya, saya sampe nangis-nangis minta ayah saya agar bisa ikut bimbel yang serupa, tapi tidak pernah dikabulkan. Tentu saja salah satu alasannya karena kami tidak punya uang. Buat membayar SPP saja saya pernah menunggak lebih dari 4 bulan.”

“Tapi saya tidak pernah menyerah. Saya berusaha menemukan bagaimanapun caranya agar bisa lolos SNMPTN. Dan Alhamdulillah, saya lolos dan bisa masuk ke ITS ini dengan sedikit beasiswa dari SMA saya.”

Dalam hati aku hanya ingin mengatakan kepada si tua itu, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, sesulit apapun itu. Asalkan kita tetap berusaha dan tetap mengharap kepada Allah Yang Maha Kuasa. Inilah yang kuyakini, inilah yang kupegang sampai saat ini. Karena jika bukan begitu maka tidak mungkin aku bisa melangkah sampai sejauh ini disini.

Si kernet menagih duit ke aku karena kebanyakan Bison tidak mau kalo perjalanan dari Tanggulangin ke Terminal Joyoboyo cuma dikasih 5 ribu. Aku spontan alasan gak ada duit lagi karena duitku memang tinggal 2 ribu di kantong, dan 2 ribu ini seharusnya untuk biaya Lyn nanti dari Joyoboyo ke ITS.

Tak lama, Bison sampai di daerah Wonokromo. Sebelum turun di RSI, ibu itu menepuk kakiku sambil bilang, “Monggo Nak, matur nuwun.” (Saya duluan ya Nak, terima kasih).

“Oh inggih Mbah, mboten nopo-nopo.” (Oh ya Mbah, bukan apa-apa kok).

Ia diam sejenak, lalu kembali menepuk kakiku. “Monggo Nak.”

“Monggo-monggo.” Jawabku sambil tersenyum.

Bisonku kembali melaju dengan kencang. Silir-silir angin dari jendela samping membuat poniku berkibar. ITS, aku datang.



01-04-2012

----------------------------------------------------------------------------------------- 

No comments:

Post a Comment


Ayo download Raynote (PDF) yang terbaru disini!

Browse Raynote (PDF) yang anda inginkan disini!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...